This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Hukum Merusak Rumah Tangga Orang Lain dalam Pandangan Islam - Internasional

Hukum Merusak Rumah Tangga Orang Lain dalam Pandangan Islam serliblog.blogspot.com - Author:Musyaffa Ahmad Rohim, Lc

Dari Abî Hurairah -radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: Rasulullâh - shallallâhu ‘alaihi wa sallam - bersabda: ‘Siapa menipu dan merusak (hubungan) seorang hamba sahaya dari tuannya, maka ia bukanlah bagian dari kami, dan siapa yg merusak (hubungan) seorang wanita dari suaminya, maka ia bukanlah dari kami’. [Hadîts shahîh diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzâr, Ibn Hibbân, Al-Nasâ-î dlm al-Kubrâ dan Al-Baihaqî].


Teks Hadîts

Rasulullâh -shallallâhu ‘alaihi wa sallam - bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (( مَنْ خَبَّبَ عَبْدًا عَلَى أَهْلِهِ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ أَفْسَدَ اِمْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا )) [حديث صحيح رواه أحمد والبزار وابن حبان والنسائي في الكبرى والبيهقي]

Takhrîj Hadîts

Hadîts ni diriwayatkan oleh Imam Ahmad dlm Al-Musnad [juz 2, hal. 397], Al-Bazzâr [lihat Mawârid al-Zham’ân juz 1, hal. 320], Ibn Hibbân dlm shahîh [juz 12, hal. 370], Al-Nasâ-î dlm Al-Sunan al-Kubrâ [juz 5, hal. 385], dan Al-Baihaqî dlm Al-Sunan al-Kubrâ [juz 8, hal. 13], jg dlm Syu’abu al-Îmân [juz 4, hal. 366, juz 7, hal. 496].

Syekh Nâshir al-Dîn al-Albânî menilai hadîts ni sebagai hadîts shahîh [Silsilah al-Ahâdîts al-Shahîhah hadîts no. 325].

Kandungan Hadîts

Secara garis besar hadîts ni berisi kecaman keras terhadap dua perbuatan, yaitu:

1. Mengganggu seorang pelayan, / pembantu / budak yg telah bekerja pd seorang tuan, sehingga hubungan di antara pelayan dan tuannya menjadi rusak, lalu sang pelayan pergi meninggalkan tuannya, / tuannya memecat dan mengusir sang pelayannya.

2. Mengganggu seorang wanita yg berstatus istri bagi seorang lelaki, sehingga hubungan di antara suami istri itu menjadi rusak, lalu sang istri itu meminta cerai dari suaminya, / sang suami menceraikan istrinya.

Bentuk-Bentuk Gangguan dan Tindakan Merusak

Ada beragam bentuk dan cara seseorang merusak hubungan diantara suami istri, di antaranya adalah:

1. Berdoa dan memohon kepada Allâh -subhânahu wa ta’âlâ- agar hubungan seorang wanita dgn suaminya menjadi rusak dan terjadi perceraian di antara keduanya.

2. Bersikap baik, bertutur kata manis dan melakukan berbagai macam tindakan yg secara lahiriah baik, akan tetapi, menyimpan maksud merusak hubungan seorang wanita dgn suaminya (atau sebaliknya). Perlu kita ketahui terkadang sihir itu berupa tutur kata yg memiliki kemampuan menghipnotis lawan bicaranya. Rasulullâh -shallallâhu ‘alahi wa sallam- bersabda: Sesungguhnya sebagian dari sebuah penjelasan / tutur kata itu adlh benar-benar sihir. (H.R. Bukhârî dlm al-Adab al-Mufrad, Abû Dâwud dan Ibn Mâjah. Syekh Albânî menilai hadîts ni sebagai hadîts hasan [silsilah al-ahâdîts al-shahîhah, hadîts no. 1731]).

3. Memasukkan bisikan, kosa kata yg bersifat menipu dan memicu, serta memprovokasi seorang wanita agar berpisah dari suaminya (atau sebaliknya), dgn iming-iming akan dinikahi olehnya / oleh orang lain, / dgn iming-iming lainnya. Perbuatan seperti ni adlh perbuatan tukang sihir dan perbuatan syetan (Q.S. Al-Baqarah: 102). Rasulullâh -shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: Sesungguhnya Iblis menempatkan singgasananya di atas air, lalu menyebar anak buahnya ke berbagai penjuru, yg paling dekat dgn sang Iblis adlh yg kemampuan fitnahnya paling hebat di antara mereka, salah seorang dari anak buah itu datang kepadanya dan melapor bahwa dirinya telah berbuat begini dan begitu, maka sang Iblis berkata: ‘kamu belum berbuat sesuatu’, lalu seorang anak buah lainnya datang dan melapor bahwa dia telah berbuat begini dan begitu sehingga mampu memisahkan antara seorang suami dari istrinya, maka sang Iblis menjadikan sang anak buah ni sebagai orang yg dekat dengannya, dan Iblis berkata: ‘tindakanmu sangat bagus sekali’, lalu mendekapnya. (H.R. Muslim [5032]).

4. Meminta, / menekan secara terus terang agar seseorang wanita meminta cerai dari suaminya / agar seorang suami menceraikan istrinya dgn tanpa alasan yg dibenarkan oleh syari’at. Rasulullâh -shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dgn maksud agar sang wanita ni memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adlh apa yg telah ditetapkan untuknya. (Hadîts muttafaq ‘alaih).

Bentuk-bentuk seperti ni sangat tercela, dan termasuk dosa besar jika dilakukan oleh seseorang kepada seorang wanita yg menjadi istri orang lain, / kepada seorang lelaki yg menjadi suami orang lain.

Dan hal ni semakin tercela lagi jika dilakukan oleh seseorang yg mendapatkan amanah / kepercayaan untk mengurus seorang wanita yg suaminya sedang pergi / sakit dan semacamnya. Sama halnya jika dilakukan oleh seorang wanita yg mendapatkan amanah / kepercayaan untk mengurus keluarga seorang lelaki yg istrinya sedang pergi / sakit dan semacamnya.

Rasulullâh -shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: Keharaman wanita (istri yg ditinggal pergi oleh) orang-orang yg berjihad bagi orang-orang yg tak pergi berjihad (yang mengurus keluarga mujahid) adlh seperti keharaman ibu-ibu mereka, dan tak ada seorang lelaki pun dari orang-orang yg tak pergi berjihad yg mengurus keluarga orang-orang yg pergi berjihad, lalu berkhianat kepada orang-orang yg pergi berjihad, kecuali sang pengkhianat ni akan dihentikan (dan tak diizinkan menuju surga) pd hari kiamat, sehingga yg dikhianati mengambil kebaikan yg berkhianat sesuka dan semaunya. (H.R. Muslim [3515]).

Salah satu bentuk pengkhianatan yg dimaksud dlm hadîts Muslim ni adlh merusak hubungan keluarga sang mujahid, sehingga bercerai dari suaminya.

Bentuk pengkhianatan yg lebih besar lagi adlh -na’ûdzu billâh min dzâlik- berzina dgn keluarga sang mujahid.

Termasuk dlm pengertian mujahid ni adlh seseorang yg mendapatkan tugas dakwah, / menunaikan ibadah haji / umrah, / bepergian yg mubah, lalu menitipkan urusan keluarganya (istri dan anak-anaknya) kepada orang lain. Dalam hal ini, jika yg mendapatkan amanah berkhianat, maka, ia termasuk dlm ancaman hadîts Muslim ini.

Mirip-mirip dgn hal ni adlh jika ada seseorang yg karena kapasitasnya, mungkin karena ia adlh seorang tokoh, / pimpinan sebuah organisasi / kiai, / ustadz, / semacamnya yg diamanahi untk mendamaikan hubungan suami istri orang lain yg sedang rusak / terancam rusak, akan tetapi, ia malah mengkhianati amanah ini.

Hukum Merusak Rumah Tangga Orang Lain

a. Hukum Ukhrawî

Para ulama’ bersepakat bahwa hukum mengganggu dan merusak hubungan sebagaimana dimaksud dlm hadîts nabi di atas adlh haram (lihat al-mausû’ah al-fiqhiyyah, pd bâb takhbîb), maka siapa saja yg melakukannya, maka ia mendapatkan dosa dan diancam siksa di neraka.

Bahkan Imam Al-Haitsamî mengkategorikan perbuatan dosa ni sebagai dosa besar.

Dalam kitabnya Al-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâir beliau menyebutkan bahwa dosa besar yg ke 257 dan 258 yaitu merusak seorang wanita agar terpisah dari suaminya dan merusak seorang suami agar terpisah dari istrinya.

Alasannya, hadîts nabi -shallallâhu ‘alaihi wa sallam - di atas menafikan pelaku perbuatan merusak ni dari bagian umat beliau, dan ni terhitung sebagai ancaman berat. Juga para ulama’ sebelumnya, secara sharîh (jelas) mengkategorikannya sebagai dosa besar. (lihat Al-Zawâjir juz 2, hal. 577).

b. Hukum Duniawî

Ada dua hukum duniawi terkait dgn hadits ini, yaitu:

1. Jika ada seorang lelaki yg merusak hubungan seorang wanita dari suaminya, lalu sang wanita itu meminta cerai dari suaminya, dan sang suami mengabulkannya, / jika ada seorang lelaki merusak hubungan seorang wanita dari suaminya, lalu sang suami marah dan menceraikan istrinya, lalu sang lelaki yg merusak ni menikahi wanita tersebut, apakah pernikahannya sah?

Jumhur ulama’ berpendapat bahwa pernikahan sang lelaki perusak dgn wanita korban tindakan perusakannya adlh sah. Alasannya adlh karena wanita tersebut tak secara eksplisit terhitung sebagai muharramât (wanita-wanita yg diharamkan baginya).

Namun, ulama’ Mâlikiyyah memiliki pendapat yg berbeda dgn Jumhur. Mereka berpendapat bahwa pernikahan yg terjadi antara seorang lelaki perusak dgn wanita yg pernah menjadi korban tindakan perusakannya harus dibatalkan, baik sebelum terjadi akan nikah di antara keduanya / sudah terjadi. Alasan Mâlikiyyah dlm hal ni adalah:

i. Demi menerapkan hadîts yg menjadi kajian kita kali ini.

ii. Agar tak menjadi preseden buruk bagi munculnya kasus-kasus lain yg serupa, demi menjaga keutuhan rumah tangga kaum muslimin.

iii. Hal ni terhitung dlm kategori kaidah fiqih: man ta’ajjala syai-an qabla awânihi ‘ûqiba bihirmânihi (siapa yg terburu-buru mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka ia dihukum dgn tak diperkenankan mendapatkan sesuatu itu). Kaidah ni pd asalnya berlaku bagi seseorang yg melamar dgn kata-kata sharîh seorang wanita yg masih dlm masa iddah (tunggu) pasca kematian suaminya. (Q.S. Al-Baqarah: 235). Logikanya, jika melamar dgn kata-kata sharîh terhadap seorang wanita yg masih dlm masa iddah karena kematian suaminya saja tak dibenarkan, padahal dlm hal ni tak ada aspek perusakan yg berakibat terciptanya perceraian wanita itu dari suaminya (karena memang suaminya telah meninggal), maka, jika ada seseorang yg merusak seorang wanita yg masih bersuami, sehingga tercipta perceraian wanita itu dari suaminya, hukumnya tentunya lebih berat daripada yg dimaksud dlm kaidah fiqih ini. Untuk itulah, jika akan terjadi pernikahan antara sang lelaki perusak hubungan dgn wanita korban tindakan perusakannya, maka, hal ni harus dicegah, dan jika sudah kadung terjadi pernikahan di antara keduanya, maka, pernikahan itu harus dibatalkan.

Yang lebih menarik lagi dari pendapat Mâlikiyyah ni adalah: ada sebagian dari ulama’ Mâlikiyyah yg berpendapat bahwa wanita korban tindakan perusakan seorang lelaki, menjadi haram selamanya bagi sang lelaki perusak tersebut.

Perbedaan pendapat ni kami sebutkan di sini sebagai peringatan keras bagi siapa saja agar tak melakukan perbuatan seperti ini, walaupun, secara hukum fiqih, pendapat Jumhur lebih kuat, akan tetapi, pendapat Mâlikiyyah, perlu kita jadikan sebagai cambuk peringatan.

2. Jika ada seseorang yg melakukan perbuatan terlarang ini, adakah ia perlu mendapatkan hukuman di dunia?

Para ulama’ berpendapat bahwa perbuatan terlarang seperti ini, jika ada yg melakukan, maka hakim berwewenang menjatuhkan ta’zîr (hukuman yg ketentuannya ditetapkan oleh hakim / penguasa) dgn syarat tak melebihi bobot 40 cambukan.

Di antara mereka ada yg berpendapat, hukumannya adlh kurungan penjara sampai ia menyatakan tobat / meninggal dunia (sebagian penganut Mazhab Hanafî)

Di antara mereka ada yg berpendapat, cukup diberi cambukan keras saja, dipublikasikan perbuatannya, agar orang waspada darinya dan agar orang lain mengambil ibrah (sebagian penganut madzhab Hanbalî).

Catatan Lain

Ada satu hal yg menarik untk dicatat di sini, yaitu tentang sikap para ulama’ saat menyebutkan hadîts ini.

Sebagian mereka mencantumkan hadîts yg sedang kita kaji ni dlm bab orang yg merusak hubungan suami istri, tanpa embel-embel ancaman dlm kalimat babnya. Seperti yg dilakukan oleh Imam Al-Nasâ-î dan Al-Bazzâr.

Akan tetapi, ada sebagian dari mereka yg mencantumkan hadîts yg sedang kita kaji ni dlm bab yg mengandung kalimat ancaman, seperti: al-zajr (penjelasan untk membuat jera), al-tasydîd (peringatan keras), sebagaimana yg dilakukan oleh Imam Ibn Hibbân dan Imam Al-Baihaqî.

Yang menarik adlh ada sebagian ulama’ yg mengkategorikan hadîts ni ke dlm bab makar dan tipu daya, sebagaimana yg dilakukan oleh kitab kanz al-’Ummâl.

Semoga kita semua terhindar dari perbuatan yg sangat tercela ini, amin.

Sumber: http://dakwatuna.com/

other source : http://akhwat.gamis-jersey.com, http://kompas.com, http://tempo.co

0 Response to "Hukum Merusak Rumah Tangga Orang Lain dalam Pandangan Islam - Internasional"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *