Sahabatku adlh orang dgn gaya hidup sehat terutama dlm hal makanan. Dia menyadari bahwa potensi diabetes dari almarhum ibunya bisa diturunkan padanya. Dia jg punya darah tinggi. Dalam keadaan emosional, tekanan darahnya bisa naik sangat tinggi. Sekalipun kemarahannya diekspresikan dlm diam, reaksi tubuh akibat darah tinggi selalu buruk. Tubuh kurus tanpa lemak berusaha 25 tahun itu harus menahan sakit kepala luar biasa yg tak bisa diatasi dgn obat sakit kepala dari warung jika kambuh.
Ini adlh tahun keenam persahabatan kami. Pada tahun ketiga saat kami belum sibuk seperti sekarang, kami melewati saat-saat makan bersama hampir tiap waktu. Baik makan siang maupun makan malam. Rumahnya bisa ditempuh dgn jalan kaki dari kostanku. Jika aku sakit, dia akan memasakkan makanan dari rumahnya dgn menu sederhana dan mengantarnya ke kostan. Kadang nasi telur dadar, kadang ikan, pernah jg ikan Cakalang oleh-olehnya dari Manado dibumbu kecap tanpa resep khusus yg herannya, sangat enak.
Saking akrabnya, kita sering dikira pacaran bahkan oleh keluarganya sendiri. Dia memasang foto kami berdua di ruang tamu, bersebelahan dgn foto pernikahan kakak-kakaknya. Itu jg karena kita sering bersama saat belanja, jalan-jalan, nonton, makan, maupun kondangan. Kami tak pernah merasa terbebani dgn prasangka orang.
"Sudah sedekat itu, kenapa nggak jadian?" Tanya beberapa teman kami.
Kita saling tahu gebetan masing-masing. Kadang berkompromi, jika hari minggu dia jalan bersama gebetannya, maka malam minggunya dia akan jalan denganku. Aku pun jg sebaliknya. Kami memang saling menyayangi dan peduli, tapi hanya sebatas sahabat. Kami pernah membahasnya, perasaan untk saling memiliki secara khusus tak ada. Pun cemburu.
Aku mengerti, banyak orang yg tak bisa menjalani hubungan seperti ni karena kedekatan dgn lawan jenis sering menimbulkan perasaan sayang yg dipikir mengarah ke cinta. Tapi kami tidak. Kami tak ingin pacaran, apalagi sampai menikah. Kami jg tak ingin punya bayi yg dibuat bersama (if you know what I mean). Sedekat apapun hubungan kami, tak ada romantisme di dalamnya.
Kami jg masih menghormati privasi masing-masing. Sehingga tak merasa aneh jika ada beberapa hal yg tak bisa diceritakan satu sama lain. Aku pikir ni adlh satu hal yg membuat kami bertahan lama. Kami tak pernah memaksa satu sama lain atas nama kedekatan dan kepedulian. Kami sudah membangun relasi yg setara sama kuat.
Kebaikan tanpa pamrih masih ada di dunia ini.
Aku harap jenis hubungan kami sudah jelas di sini.
Kembali ke soal makanan. Karena bergaya hidup sehat, kita sering bingung dlm memilih menu makanan. Kita tak akan makan makanan yg bisa berpotensi darah tinggi, banyak kolestrol, mengandung banyak gula maupun pemanis buatan, gorengan yg tak jelas jenis minyaknya, makanan yg terlalu pedas, makanan yg mengandung banyak MSG. Terutama Fast Food.
Beberapa waktu lalu saat kita belanja bersama di Indomaret, aku berdiri di depan rak kopi dan agak bingung memilih kopi instan yg tepat untukku. Dia berdiri di sampingku, ikut membaca berderet merk kopi instan dgn berbagai varian racikan. Arabica, italiano, dgn dan / tanpa ampas, mengandung gula / tanpa gula dan lain-lain. Karena dia bukan lelaki peminum kopi dan tak pernah merokok, dia mengerti kebingunganku. Dia jg tak tahu apapun soal kopi.
Sebenarnya aku jg bukan peminum kopi. Aku sudah berhenti minum kopi 3 tahun lalu. Tapi minum kopi lagi di pertengahan tahun lalu saat seorang kawan mengajak ke kedai kopi untk ngobrol. Karena tak ada menu lainnya laiknya coffee shop pd umumnya, aku jadi memesan kopi. Enaknya kopi pesenanku membuat rasa kangen minum kopi timbul lagi sewaktu-waktu. Tetap saja, aku membatasi minum kopi hanya seminggu 3 kali.
Aku meraih kardus kopi instan isi 10, aku bertanya padanya, "ini gimana?"
"Jangan, mengandung pemanis buatan." Katanya setelah membaca komposisi yg tertulis di belakang kemasan.
"Kalau ini?" Tanyaku menyodorkan merk dan jenis kopi yg lain.
"Jangan," katanya sambil meletakkan kopi itu di rak semula, "itu terlalu strong. Cari yg ringan aja."
Baiklah…
Mataku menyisiri rak kopi itu lagi. Dari atas, ke bawah, lalu ke atas lagi. Aku menemukan kopi favorit bapakku. Tanpa gula dan berampas. Menurutku, kopi itu enak, menimbulkan sensasi kecut dan cocok dijadikan teman begadang.
"Jangan itu, terlalu banyak caffeinenya."
"Terus apa dong? Yang mana?"
"Sebenarnya lebih sehat teh kan?"
Aku sudah punya teh hijau di kostku. Aku hanya belum memberitahunya. "Aku mau ngopi. Lagi pengen ngopi. Gimana dong?"
Dia menggaruk kepalanya, "Ini terlalu keras kopinya. Nanti lambungmu sakit."
"Trus?" Aku makin bingung karena yg dia katakan benar. "Atau ni aja ya? Strong, tapi bukan kopi murni. Mereka bilang… emmm… mengandung susu dan pemanis buatan. Tapi aku janji akan minum banyak air putih kalau minum ini. Nggak akan sering-sering minum kopi."
"Pemanis buatan? Nggak bagus."
Butuh waktu lama untk membuatnya memasukkan kopi ke keranjang belanja dan berkata, "nanti aku aja yg bayar. Sekalian bayar ini."
Aku memang hanya belanja kopi. Sedangkan dia belanja lebih dari 3 / 4 hal lainnya.
Harusnya aku membeli kopi yg berasal dari biji kopi asli. Tapi di sini tak ada. Apa boleh buat.
Pernah, kami ingin sekali pisang goreng. Pas saat itu sedang di daerah UKI dan di sana ada penjual gorengan. Kami tahu bahwa tenggorokan kami sensitif terhadap minyak yg digunakan berulang kali. Tapi kami terlalu ingin dan sulit mencegahnya. Akhirnya kami nekat membeli gorengan itu, esoknya, kami cengar-cengir berdua karena tenggorokannya sama-sama serak. Kami dipersatukan dgn sensitifitas tenggorokan yg luar biasa.
Perutnya jg sangat sensitif, ia tak bisa makan makanan yg pedas dan selalu pilih-pilih warung untk makan dgn pertimbangan kebersihannya. Aku tak sesensitif itu, masih bisa tahan dgn makanan dari pinggir jalan. Tapi memang beberapa warung terlalu keterlaluan hingga menggunakan sedotan bekas untk minuman.
Jika kamu masuk ke sebuah warung dgn penataan sedotan yg bercampur warnanya, kemungkinan itu sedotan bekas pelanggan lain. Kalau diteropong ke dlm sedotan itu, akan terlihat titik-titik air dan kadang titik-titiknya bernoda hitam. Dalam hal ini, meneliti sedotan selalu menjadi tugasku. Aku tak mau dia sakit perut hanya karena hal sepele menyangkut kebersihan sedotan.
Kami sadar bahwa kami harus saling menjaga.
Tidak masalah jika pelarangan ni itu dipertimbangkan atas dasar yg cukup logis, apalagi membawa dampak langsung pd kondisi tubuh. Beberapa bilang hal seperti ni lebay, tapi kondisi badan tiap orang memang berbeda. Aku tak masalah jika dilarang hal-hal yg punya banyak pilihan selain itu. Apalagi jika dia menawarkan solusi yg lebih baik.
Ditambah, jika sejak awal, orang yg melarang itu adlh orang yg memang jelas peduli terhadap kita. Bukan sekedar mencari perhatian. Apalagi hanya untk berbasa-basi.
Aku memang tipe pemberontak. Tapi aku hanya memberontak hal-hal yg aku anggap menghina akal sehatku. Jika masih ada di jalur berpikir yg benar, aku akan menurut dgn senang hati dan dgn penuh kesadaran. Jika aku pikir ada kekeliruan di dalamnya, sekalipun mengandung risiko yg besar, aku tak segan-segan melakukan pemberontakan. Siapapun orangnya.
Beberapa orang mengatakan, "jangan lupa makan", "Jaga kesehatan", "Jangan terlalu sibuk," "Jangan begadang," / bertanya sedang berada di mana, sedang beraktivitas apa dan lain-lain hanya karena ia tak punya topik yg dibicarakan. Aku menolak perhatian semacam ini. Oke. Perhatian itu memang manis untk beberapa orang, tapi tak untukku. Tolong cari hal lainnya supaya aku tertarik memperhatikanmu.
Larangan aneh lain saat aku makan dgn seorang teman. Dia menyebut ni kencan, aku menyebutnya makan bareng biasa. Kami berdua memesan Mie Ayam. Saat Mie Ayam datang, aku lekas mengambil sumpit yg masih terbungkus plastik.
Dia bilang, "Jangan pakai sumpit. Bahaya. Sumpit kayak gitu mengandung pemutih."
Aku tak peduli.
Pernah, yg lainnya berkata, "Banu, jangan berteman dgn lelaki. Berteman dgn perempuan saja."
Oh, jadi aku tak boleh berteman dgn lelaki, tapi kamu sendiri sedang berusaha untk berteman denganku? Oxymoron memang tak berbatas. Bersikap adil memang susah, terutama terhadap diri sendiri.
Aku lagi-lagi tak peduli.
Larangan kecil yg diberikan soal makanan dan pergaulan saja aku tak peduli, apalagi larangan besar. Seperti hal-hal krusial yg menyangkut pilihan hidupku.
Jangan tersinggung, tapi aku punya otak yg cukup lumayan untk tahu mana yg baik untukku dan mana yg tidak. Kecuali jika kamu adlh orang terdekatku dan memiliki landasan logis untk melarangku melakukan sesuatu.
Seringkali, dlm hal-hal seperti ini, melihat siapa yg berbicara jadi penting.
Siapa dia, dimana dia saat kita susah, seperti apa dia ketika tahu kekurangan kita. Seperti apa ketika kita bertengkar. Apa yg dia lakukan untk meraih kepercayaan kita. Apa perannya untk kehidupan kita selama ini.
Jika ingin jadi orang penting, harusnya seseorang jg hadir di saat-saat penting. Bukan tiba-tiba saja datang dgn berbagai macam permintaan.
Kau tak tahu apa-apa tentangku. Kau tak pernah bersamaku untk menghadapi sesuatu.
Aku tak pintar berbasa-basi. Aku tak bisa berakting menyukai sesuatu padahal aku tak suka. Dengan ni kau harus paham bahwa tak selamanya aku melakukan penolakan.
Anggaplah, ni adlh sebuah tanda bahwa aku sudah menggaris sebuah lingkaran kecil di sekelilingku untk tak mengijinkanmu mendekat.
0 Response to "[Cerita] Ultimatum I"
Post a Comment