Beberapa waktu lalu saya hadir di sebuah acara Sastra. Musisi yg hadir di acara tersebut menampilkan beberapa musikalisasi puisi yg menurut saya cukup bagus. Saya berbisik ke kawan yg duduk di sebelah, “Puisinya bagus ya?”
“Biasa aja sih sebenarnya.” Katanya,
Saya mempertajam pandang pandangan mata. Tak jg menemukan apapun yg biasa di lirik itu.
"Coba perhatikan bait dan caranya mengawali kalimat. Puisi itu ditulis dgn gaya yg mirip dgn puisi Sapardi yg ‘Aku Ingin’. Memang tampak lebih bagus setelah dimusikalisasi.”
Saya kembali memperhatikan bait demi bait yg terpampang di layar. Oh iya, benar juga. Kalau tak diberitahu, mungkin saya tak akan menyadarinya. Kawan saya ni adlh seorang editor sastra yg sudah mendidik selera maupun kepekaannya terhadap karya yg benar-benar bagus. Saya tak punya kepekaan semacam itu karena selama ni hanya memosisikan diri sebagai penikmat sastra yg paling banter hanya memperhatikan diksi dan mencerna makna. Pertimbangan saya sebagai penikmat hanya sampai pd ketersampaian pesan dan kedekatannya dgn perjalanan hidup saya.
Pertimbangan seorang editor mencakup hampir segala aspek.
Ketika saya bilang padanya bahwa saya tak punya kepekaan semacam itu, kawan saya bilang, “Bisa dilatih kok.”
Dia benar. Kepekaan seperti itu bisa dilatih.
Seperti itulah literasi.
Kita mendidik diri kita dgn selera yg bagus. Meneliti dan membandingkan segala pilihan yg ada di depan mata. Memilih yg terbaik sambil menemukan alasan paling masuk akal kenapa kita sebuat itu bagus dan menyebut yg tak kita pilih sebagai biasa, / jelek.
Selama ni budaya literasi sering dikaitkan hanya seputar baca dan tulis. UNESCO sendiri membuat definisi bahwa literasi adlh kemampuan untk mengidentifikasi, memahami, mengintepretasi, menciptakan, mengkomunikasikan dan memperhitungkan sesuatu dari sebuah teks ke berbagai variasi konteks. Khusus untk bagian ini, terimakasih kepada ensiklopedia gratis kesayangan kita semua, Wikipedia.
Saya adlh orang yg meyakini bahwa dlm seluruh aspek hidup kita yg berisi pilihan-pilihan ini, pd dasarnya merupakan kerja-kerja literasi. Bahkan hingga ke hal yg paling sederhana sekalipun.
Misalnya, saat ingin makan Sate Ayam, pilihan nomer satu di kepala saya adlh Sate Pasar Santa. Saat ingin memilih OS komputer, pilihan utama saya adlh Linux diantara Windows dan Apple. Dalam memilih film yg akan ditonton di bioskop, biasanya pertimbangan rating, pemain dan sutradara muncul. Bahkan dlm memilih pasangan, hubungan sebelumnya akan memunculkan sebuah standar baru untk hubungan selanjutnya karena kita sudah banyak belajar dari kesalahan. Untuk poin yg terakhir ini, maaf maaf aja ya buat yg belum pernah punya hubungan sebelumnya.
Saat membaca kata-kata Bill Kovach yg berbunyi, “Journalism is the closest thing I have to a religion,” saya langsung mengingat proses verifikasi hadits yg sangat rumit. Ada banyak teks, pendalaman bahasa, penalaran, verifikasi data dan sejumlah pekerjaan rumit lain yg hasil akhirnya menghasilkan kualitas hadits dgn label Shahih, Dhaif, dan Hasan. Adalah hal yg sangat biasa jika ahli hadist satu dgn yg lain akhirnya memberi label berbeda pd satu hadits. Ada ulama yg menilai bahwa satu buku hadits itu seluruhnya shahih, ada yg berpendapat dlm kitab yg shahih itu, masih terdapat hadist dhaif di sana sini. Ulama yg mengumpulkan dan mempelajari hadits telah melakukan kerja-kerja literasi, umat beragama yg mengonsumsinya jg melakukan proses literasi tersendiri dlm memilih versi ulama mana yg akan dijadikan pedoman hidup sehari-hari.
Belum lagi jika kita bicara mengenai penafsiran al Quran maupun fiqih dgn berbagai mazhab Islam yg berbeda. Perdebatan para Ulama hebat dari ribuan tahun yg lalu rasanya belum jg selesai karena perdebatan itu diteruskan oleh orang-orang awam yg tak hobi membaca perdebatan keagamaan di masa lalu. Semua ilmu ni yg sumbernya teks ni disebut Ilmu Kalam. Ilmu kalam yg menyumbang banyak untk perkembangan peradaban manusia ni kadang digunakan sebagai alat perang sebagai sebuah pembenaran alih alih sebuah kebenaran.
Perdebatan kalam ni seringkali melahirkan generasi dogmatis yg merasa paling benar saat menafsirkan teks. Bukan hanya merasa paling benar. Tapi mulai memaksa yg lainnya untk mempercayai apa yg mereka imani.
Saya percaya bahwa kebenaran itu absolut. Tapi persepsi kita terhadap kebenaran inilah yg relatif. Tindakan ngotot merasa memegang tafsir paling benar ni sama saja dgn menyamakan kedudukan dirinya sendiri sejejar dgn Nabi. Karena hanya Sang Penerima Wahyu lah yg dianugerahi kecerdasan sebagai yg paling mengetahui maksud Tuhan dlm ayatNya.
“Aku melihat ada Islam di Barat tapi tak ada muslim. Dan ada Muslim di Arab, tapi tak ada Islamnya.” Muhammad Abduh melihat bahwa Islam secara general adlh sebuah kata sifat daripada kata yg merujuk pd Agama. Mereka yg berislam, belum tentu muslim.
Secara garis besar, Islam Mazhab apapun akan sepakat bahwa Islam adlh Rahmatallil ‘alamin. Saat beberapa orang membawa Islam yg ramah, yg lainnya membawa Islam yg lemah nan insecure.
Katakanlah, seseorang tak tahu ilmu hadist sama sekali untk melakukan verifikasi shahih / tidaknya sebuah hadist. Tapi ia memiliki budaya literasi. Jika menemui hadist Abu Dawud yg berbunyi, “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka termasuk golongan mereka,” minimal ia tak akan panik takut keluar dari Islam secara otomatis begitu dia meniru kaum non Islam. Karena hadist itu biasanya digunakan sebagai dalil larangan untk mengucapkan selamat atas hari raya untk umat beragama lain, larangan pakai topi sinterklas, pemakaian Hijab dan sederet pelarangan yg dibuat dgn argumentasi yg dangkal.
Karena boleh / tidaknya ucapan Natal sudah jadi tema perdebatan musiman tiap tahun, maka saya tak akan membahasnya lagi. Menghabiskan energi. Lagipula orang yg melarang ucapan selamat itu belum tentu tahu kalau Hari Natal 25 Desember adlh hari rayanya umat Katolik, karena Kristen tak menentukan tanggal pasti kelahiran Yesus selain bahwa Yesus lahir antara tanggal Desember-Januari.
Katolik jg tak pernah menggambarkan Santa Claus sebagai sosok gemuk seperti yg kita lihat karena tokoh yg sebenarnya bernama Santa Nikolas ni aslinya adlh seorang bertubuh kurus yg membagikan hadiah pd anak-anak dari pintu ke pintu. Ada banyak gereja Katolik yg tak menggunakan Santa Claus edisi gendut sebagai simbol natal. Sosok gendut dgn kereta salju, baju dan topi merah putih khas natal itu sesungguhnya adlh penggambaran Santa Claus di iklan Coca Cola pd 1881. Jadi, kalau ada pelarangan memakai topi Santa Claus dgn dalil hadist di atas, mungkin karena si Uni tak ingin kalian jadi generasi Coca Cola. Barangkali kalau Pepsi yg akan membuat Santa Claus, pasti seragam Santa bukan merah putih, tapi biru.
Sekarang soal Jilbab. Jilbab ni sudah menjadi identitas banyak umat beragama lain seperti Biarawati Kristen Ortodoks Yunani, Biarawati Kristen Koptik, Yahudi Ultra Ortodoks, Biarawati Katolik, beberapa Zoroaster dan kelompok beragama lain yg menggunakan tutup kepala serupa model hijab walau disebut dgn nama yg berbeda-beda. Sama halnya seperti mbak-mbak Hijabers yg tampil dgn berbagai gaya. Lalu jika hadist di atas menjadi sandaran hukum, apakah lantas orang Islam itu serupa Yahudi, Nasrani dan Zoroaster? Takut nanti kurang Syar’I jika hijabnya kurang begini dan begitu. Tentu boleh-boleh saja memakai jilbab model apapun. Tapi jika sampai melabeli yg ni Syar’I dan yg itu tak Syar’I, maka seseorang sudah menganggap dirinya yg paling tahu tentang maksud Tuhan. Lagipula, yg diajarkan dlm Islam adlh kesederhanaan seperti yg dicontohkan oleh keluarga Nabi. Dalam hal ini, tak ada perdebatan karena semua sepakat bahwa Nabi tak pernah bermewah-mewahan.
Terlalu mudah diprovokasi dgn isu adlh salah satu ciri lemahnya kemampuan literasi seseorang. Terlalu cepat menghakimi tanpa jalur silogisme yg benar adlh ciri kebodohan.
Beberapa argumentasi sekilas terlihat sangat ilahiah karena bersandar pd dalil-dalil. Jika punya kendala teknis seputar teks sehingga tak bisa mencari dalil bantahannya, maka masih bisa digunakan jalur lainnya. Lagipula, bisa bahasa Arab dan bisa mengakses banyak kitab penting dlm agama sama sekali tak menjamin bahwa seseorang akan berpikir dgn silogisme benar soal agama. Buktinya, ada Fatwa yg dikeluarkan oleh kumpulan Ulama Saudi dan Dubai yg dirilis Febuari 2014 lalu soal larangan untk tinggal di Planet Mars. Mereka bilang tinggal di Mars itu sama saja dgn usaha bunuh diri dan bunuh diri dilarang oleh agama. Itu pun baru satu dari 2 juta fatwa yg diproduksi ulama tersebut sejak 2008.
Lebih baik susah-susah belajar supaya bisa bertindak simple daripada malas belajar tapi gampang dibikin ribet.
Almarhum Gusdur adlh contoh Ulama yg mau belajar dgn tekun untk bisa bertindak dgn simpel. Saya membayangkan, jika beliau sampai dengar fatwa itu, Ia akan tertawa sambil berkata, “Kamu mau tinggal di Mars? Gitu aja kok repot!”
Agama yg saat ni kita pilih adlh hasil dari belajar, merenung, berefleksi, mengkaji, mengomparasikan satu dgn yg lainnya, dan terus disesuaikan sesuai dgn semangat jaman
Jika Pram bilang Hidup itu sederhana, yg rumit hanya tafsir-tafsirnya. Maka saya ingin bilang bahwa Beragama itu sederhana, yg rumit hanyalah tafsir-tafsirnya.
source : http://syaharbanu.blogspot.com, http://viva.co.id, http://instagram.com
0 Response to "[Cerita] Literasi dalam Berislam"
Post a Comment