Pemerintah dan DPR telah menyatakan tak akan melakukan pembelian alutsista (alat utama sistem persenjataan) bekas / dgn hibah lagi.
Namun, pengadaan alutsista baru lebih kompleks daripada pembangunan infrastruktur, pengadaan bahan makanan pokok, dan semacamnya. Anggaran ada, pemerintah dan DPR jg setuju mengadakan alutsista tertentu, tapi itu belum tentu terealisasi.
Ambil contoh kasus pengadaan pesawat F-16 dan tank tempur utama Leopard. Rencana awal yg dibeli adlh enam unit F-16 Blok 52 baru, tetapi setelah DPR menyetujui, pemerintah justru menyatakan akan membeli F-16 Blok 25 bekas yg diperbarui dgn jumlah lebih banyak. Begitu pula, rencana pembelian 100 unit Leopard yg semula berspesifikasi 2A6 generasi tahun 2000-an. Setelah dijajaki ke Jerman, sebelumnya sempat ditolak oleh parlemen Belanda, pemerintah menyatakan akan membeli tank Leopard 2A4 generasi 1980-an, plus tank Marder 1A3 dari generasi yg lebih tua.
Dilihat dari perencanaan pengadaan alutsista yg merupakan kombinasi pendekatan teknokratis dan politis, diusulkan secara berjenjang dari pengguna di lapangan dan dibahas oleh Kementerian Pertahanan, Bappenas, dan Kementerian Keuangan. Lalu anggarannya diusulkan kepada DPR, maka TNI dan pemerintah terlihat mampu membuat perencanaan yg baik. Bahkan, sebenarnya TNI jg telah membuat daftar alutsista kondisi kritis yg harus segera diganti karena berisiko bagi keselamatan prajurit.
Perubahan mendadak pd fase pembelian menunjukkan ada tangan tak terlihat di luar mekanisme suplai-permintaan yg biasa dijumpai pd pasar beras, semen, mobil, dan lain-lain. Ada pertimbangan ekonomi, misalnya, menciptakan nilai finansial bagi alutsista yg sudah masuk fase penghapusan, dan menghidupkan industri produsen suku cadang. Namun, yg lebih signifikan adlh pertimbangan politik dari negara produsen, seperti keseimbangan kekuatan di kawasan dan konsekuensi perlindungan bagi sesama aliansi pertahanan dan kerja sama keamanan.
Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara merupakan anggota aliansi pertahanan/keamanan, seperti Five Power Defence Arrangements, / Mutual Defense Treaty secara bilateral. Bila di antara negara-negara tersebut mempunyai F-16 Blok 52 / tank Leopard 2A4 yg dpt dicek di The Military Balance, maka Indonesia yg berpolitik bebas aktif akan sulit membeli pesawat tempur dan tank yg melampaui kapabilitas alutsista mereka. Sekurang-kurangnya kapabilitas dan jumlah yg dpt kita beli setara, / malah kurang darinya.
Indonesia telah menggariskan beberapa prinsip pengadaan alutsista. Dalam Pasal 43 UU Industri Pertahanan terdapat beberapa prinsip, antara lain, impor alutsista dpt dilakukan jika belum dpt dibuat di dlm negeri, mengikutsertakan industri pertahanan dlm negeri, adanya alih teknologi, tak ada syarat politik, dan sebagainya. Namun, niat mulia itu tak dpt mengikat negara penjual alutsista.
Pengadaan oleh industri pertahanan dlm negeri jg membutuhkan waktu, dukungan politik, dan modal. Yang tersulit bukan modal dari APBN, tetapi modal manusia, para ahli dan pakar yg sebagian telah bergabung dgn Boeing, Embraer, dan lain-lain pasca pembubaran IPTN.
Meskipun demikian, seruan Presiden Joko Widodo agar pengadaan alutsista diarahkan pd kemandirian industri pertahanan (Kompas, 2/7) harus diwujudkan. Namun, seruan teknonasionalisme tersebut perlu dilakukan secara cerdik. Penulis mengusulkan untk pengadaan alutsista berjenis senjata mematikan (lethal weapon) sebaiknya digarap mandiri. Riset dikembangkan oleh Litbang Kementerian Pertahanan/TNI, BUMN, perguruan tinggi pertahanan, dan perusahaan swasta karena industri komponen utama/penunjang/perbekalan dpt dimiliki oleh swasta (Pasal 12-13 UU Industri Pertahanan).
Alternatifnya ada dua. Pertama, produksi bersama dgn industri luar negeri sepanjang memenuhi prinsip Pasal 43. Kedua, pembelian alutsista baru dari negara yg tak memiliki aliansi pertahanan di kawasan ini.
Adapun pengadaan alutsista non-lethal weapon untk meningkatkan kapabilitas TNI/Polri, seperti pesawat angkut, kapal medis, kapal survei, dan lain-lain dilakukan secara mandiri, / dgn produksi bersama BUMN dan industri luar negeri. Pemerintah tinggal meningkatkan kapabilitas pakar dan kapasitas organisasi BUMN, seperti PT DI dan PT PAL.
Yang sangat pelik adlh pengadaan untk penggantian alutsista kondisi kritis, baik lethal weapon maupun non-lethal weapon. Penggantian harus cepat, dan daftarnya akan bertambah seiring berjalannya waktu.
Akan tetapi, tantangan telah berubah mulai dari konflik antarnegara menjadi konflik dgn pelaku bukan negara. Kini muncul fenomena konflik tumpang tindih negara dan bukan negara dlm bentuk konflik hibrida. Tantangan konflik hibrida akan sulit diatasi dgn pesawat tempur dan kapal perang konvensional.
Amerika Serikat lebih memilih drone, kapal penjelajah pantai yg lebih kecil, penguatan kapabilitas siber, dan kapasitas personel untk menghadapi konflik hibrida. Bila kita mengadopsinya, maka pengadaan alutsista baru bukan untk menggantikan yg tua karena alutsista tersebut dibeli saat Perang Dingin dan konflik antarnegara. Selain itu, Indonesia memerlukan alutsista yg lebih banyak untk misi kemanusiaan dan bantuan bencana alam. Bila prioritas pengadaan alutsista untk menghadapi konflik hibrida dan bencana, maka industri strategis Indonesia akan lebih mudah memenuhinya.
FAHMI ALFANSI P PANE
Alumnus Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia
Versi cetak artikel ni terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2015, di halaman 7 dgn judul "Strategi Pengadaan Alutsista Baru".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
source : http://pinterest.com, http://kompas.com, http://doa-bagirajatega.blogspot.com
0 Response to "Strategi Pengadaan Alutsista Baru FAHMI ALFANSI P PANE"
Post a Comment