This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Ketika Soeharto Masuk Sekolah Muhammadiyah

Masa masa sulit almarhum Soeharto adlh saat menyelesaikan studi. Keterbatasan biaya dari orangtua membuatnya harus berpindah dari Yogyakarta ke Wonogiri, ikut pamannya yg mempunyai penghidupan lebih baik.

Namun, ikut bersama dgn paman dan bibi tak semuanya mulus. Ia harus kembali ke orangtuanya di Kemusuk, Yogyakarta dan menyelesaikan sekolah. Masuklah Soeharto ke sekolah Muhammadiyah yg tak memerlukan sepatu. Hal ni terungkap dlm buku otobiografi Soeharto, Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya. Berikut nulikannya:

Satu hal lagi yg saya kenang mengenai hidup di rumah Kiai Darjatmo ialah sewaktu saya diizinkan membantunya dlm membuat catatan (resep) obat-obatan tradisional yg diberikan sewaktu mengobati orang sakit.

Nama obat-obatan yg ganjil, ramuan yg aneh, tanam-tanaman yg langka dan yg banyak terdapat di tengah kampung serta peringatan-peringatan saya tuliskan untk orang yg sakit, yg kadang-kadang saya kerjakan hingga larut malam. Maka saya mengenal pelbagai macam daun-daunan, akar-akaran, pohon-pohonan, rerumputan. Memang Pak Darjatmo itu suka memberikan petunjuk apa yg mesti dimakan / dioleskan dan apa larangan-larangannya.

Bermacam orang datang minta tolong kepada Pak Darjatmo, dari mulai yg sakit kulit, sakit panas sampai kepada yg mempersoalkan perkawinan dan perceraian, yg mendambakan anak, kesulitan dlm berdagang, urusan dgn penguasa, yg merasa kemasukan setan, yg tertimpa oleh pemerasan orang ketiga, dan macam-macam lagi. Dan saya tahu dari dekat bahwa memang banyak diantara mereka yg meminta tolong itu, kemudian sembuh setelah mengikuti petunjuk Pak Darjatmo.

Pada suatu waktu berakhir jg hubungan saya dgn Pak Darjatmo. Saya kembali ke kampung asal, ke Kemusuk. Dan dari sana saya pergi tiap hari ke Yogya, naik sepeda, untk menyelesaikan pelajaran di sekolah Muhammadiyah. Saya terpaksa meninggalkan Wonogiri dan langgar Kiai Darjatmo gara-gara peraturan sekolah yg mengharuskan murid pakai celana pendek dan bersepatu, sedang orang tua saya tak mampu membelikan.

Di Yogya, walaupun di kota, saya bersekolah pakai sarung / kain, dan tak bersepatu. Namun, saya tak merasa kikuk, karena saya tak seorang diri yg demikian. Masih ada sejumlah murid lagi yg datang seperti saya.

Pada masa itu saya mendengar tentang protes menentang penjajahan Belanda. Saya dengar adanya rapat-rapat umum di kota Yogya, yg digerakkan oleh tokoh-tokoh politik. Sampai di sekolahpun para pelajar ikut-ikutan membicarakan apa-apa yg telah didengar di tempat-tempat rapat umum itu. Tetapi semua ni belum memberi kesan yg kuat kepada saya. Saya memusatkan pikiran pd pelajaran dan menamatkan sekolah pd tahun 1939.

Setelah menamatkan sekolah schakel Muhammadiyah sebenarnya saya masih ingin melanjutkannya. Tetapi baik ayah maupun keluarga lainnya tak ada yg sanggup membelanjai saya sekolah. Keadaan ekonomi- keluarga kami rendah sekali. Saya masih ingat saja akan apa yg dikatakan ayah saya waktu itu. "Nak," katanya,"Tak lebih dari ni yg dpt kulakukan untk melanjutkan sekolahmu. Dari sekarang kamu sebaiknya mencari pekerjaan saja. Dan kalau sudah dapat, Insya Allah, kamu dpt melanjutkan pelajaranmu dgn uangmu sendiri." Sulit mendapatkan pekerjaan tanpa bantuan orang yg berkedudukan / yg berpengaruh, tanpa uluran tangan orang kaya ataupun pengusaha besar waktu itu.

Saya berusaha kian kemasi mencoba mendapatkan sumber nafkah. Tetapi tak jg berhasil. Akhirnya saya kembali ke Wuryantoro, tempat banyak kenalan yg saya harapkan akan bisa membuka jalan.

Benar juga. Setelah sekian banyak jalan yg saya tempuh, akhirnya saya diterima sebagai pembantu klerek pd sebuah Bank Desa (Volks-bank). Walaupun saya tak begitu senang dgn pekerjaan ini, saya anggap lebih baik melakukannya daripada `nganggur di tengah suasana yg muram.

Saya mengikuti klerek bank berkeliling kampung dgn sepeda, dgn mengenakan pakaian Jawa lengkap, dgn kain blangkon dan baju beskap. Di kantor-kantor lurah kami menampung permintaan para petani, pedagang kecil dan pemilik warung yg menginginkan pinjaman.

Sebenarnya saya sudah mengetahui cukup banyak mengenai kebutuhan orang-orang kecil itu sewaktu saya bersama Pak Prawirowihardjo tempo hari dan sewaktu membantu Pak Hardjowijono dan Pak Darjatmo. Tetapi saya tak banyak bicara. Saya merasa pd tempatnya kalau lebih banyak mendengarkan lagi.

Boleh dibilang tiap malam saya mengajak Kamin, seorang teman waktu itu, untk belajar pembukuan. Mantri Bank Desa itu mengakui, bahwa otak saya encer. Tidak sampai dua bulan saya sudah menguasai seluruh pembukuan. Waktu itu saya memakai sepeda hitam. Kamin memakai sepeda hijau. Saya selalu disuruh Kamin mendayung sepeda di muka. "Ayo Mas Harto yg di depan, saya di belakang", kata Kamin.

Sekali waktu saya meminjam kain pd bibi karena kain saya sendiri sudah usang, tak patut lagi dipakai mendampingi klerek Bank Desa. Pada suatu hari saya bernasib jelek. Waktu turun dari sepeda yg sudah reot, kain yg saya pakai tersangkut pd per sadel yg menonjol keluar dan sobek. Saya dicela oleh klerek yg saya dampingi. Padahal saya tak bersalah, cuma jalan hidup saya saja yg demikian. Tetapi bibi jg memarahi saya. Saya dibentaknya, dgn mengatakan, kain itu adlh satu-satunya kain yg baik. Tak ada lagi yg lainnya yg bisa diberikan, sekalipun mungkin saja sebenarnya ia masih mau menolong saya.

Dan kejadian ni merupakan perpisahan dgn tempat saya bekerja. Tidak begitu menyesal, sebab memang saya tak mendapat kesenangan bekerja di sana. Cuma waktu berjabatan tangan dgn Kasmin, saya mesti menundukkan muka. Terharu meninggalkannya.

Saya menganggur lagi, tetapi saya tak putus asa. Saya cari kesempatan yg lebih baik. Saya pikir saya akan mencoba mengadu nasib di Solo. Saya benar-benar mendambakan pekerjaan. Apa saja, asal halal.

Ada seorang teman yg menganjurkan untk melamar ke Angkatan Laut Belanda. Tetapi lowongan yg ada di sana ialah sebagai juru masak. Saya pikir, biarlah itu nanti saya jadikan sebagai cadangan yg paling akhir.

Di Solo pun ternyata tak ada pekerjaan. Maka saya kembali ke Wuryantoro. Waktu itu saya isi dgn pekerjaan gotong-royong, membangun sebuah langgar, menggali parit, dan membereskan lumbung. Tetapi setelah itu, hari depan saya gelap lagi.

Sumber: http://fdanila.multiply.com

Retrieved from: http://pcpmminggir.blogspot.com/2012/12/ketika-soeharto-masuk-sekolah.html

source : http://tempo.co, http://muhammadiyahstudies.blogspot.com, http://pinterest.com

0 Response to "Ketika Soeharto Masuk Sekolah Muhammadiyah"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *