Kisah Ironi Ibnu Ahmad dan Pemimpin Banten . Di Jalan Bhayangkara Serang, seorang perempuan yg konon katanya Ratu gadungan bernama Atut Chosiyah menghabiskan uang sebesar ratusan juta rupiah tiap kali ke Singapura dlm rangka shoping. Saat bepergian ia selalu mendapat pengawalan dan penaungan payung penyejuk wajah plastiknya. Ia bermewah-mewah dan bergelimang harta. Ia bukan wanita biasa yg sukanya kongkow-kongkow sesama ibu-ibu sambil saling mencari kutu di pinggiran rumah berdindingkan bilik bambu. Ia adlh Ratu yg menampik rumah dinasnya sendiri sebagai rumah kehormatan pemangku amanah sebagai gubernur. Tak kepalang tanggung rumah dinasnya yg dibangun dgn uang rakyat puluhan miliar rupiah itu seenak udelnya disia-siakan begitu saja. Ia lebih memilih menyewa rumah pribadinya sebagai rumah dinas, karena dianggap lebih refresentatif. Pinter kodek bin jahanam namanya. Pemimpin model apa ni ! Sang Ratu ibarat boneka Barbie yg hidup dlm sangkar emas. Di usia berdirinya provinsi Banten hampir 12 tahun, ia benar-benar menjelma sebagai sosok sebagaimana Barbie setelah memenangkan kontes “Pilkada”, kontes pilkada tingkat provinsi yg disiarkan di berbagai TV. Orang tuanya membuka jalan restu atas semua kemewahannya. Seolah tak ada edukasi sama sekali bahwa gaya hidup itu bisa jadi
bom waktu baginya di masa depan. Padahal Sang Ratu sendiri sering mengatakan bahwa mendiang Bapaknya Chasan Sohib, berpesan agar dirinya berperan membangun Banten. Nyatanya, ia memeluk sambil menusuk dari belakang. Sementara Wawan sang Adik, dijuluki sebagai Gubernur Jenderal di Banten karena ia lebih berkuasa ketimbang kakaknya yg gubernur Banten. Baginya, Banten adlh miliknya, tak boleh ada siapa pun merintangi sepak terjangnya. Untuk pejabat Banten, dia mempunyai pasal khusus “yang jujur akan hancur”. Hanya satu prase yg menjadi tujuannya : “Harta, Tahta dan Wanita”. Ia hidup bergelimang harta dgn penuh gaya poya-poya. Harta di mana-mana, sekali party 200 juta habis seketika di
Flame Boutique Ktv. Uang yg dimiliki Atut dan Wawan adlh hasil dari berbagai proyek di Banten. Mereka sukses membangun dinasti dgn
misi korupsi kolusi dan nepotisme. Jejaringnya semakin menggurita dlm satu komando dan satu
jejaten jawaraisme. Mereka lupa, bahwa Banten adlh bagian dari Indonesia yg memiliki satu kekuatan hukum yg satu berlaku untk siapa pun. Lebih parahnya lagi mereka (dinasti) lupa pula bahwa Banten adlh milik seluruh rakyat Banten yg tiap napasnya menggugat ketidakadilan pemimpinnya. Mereka tak yakin bahwa tiap kata yg keluar dari mulut rakyat yg tertindas adlh do’a. Mereka lupa bahwa do’a cepat / lambat akan terkabul dgn izin Allah. Mereka lupa bahkan menantang kekuatan koloni semut yg melingkarinya. Semut kalau terus diinjak lama-lama akan menggigit. Kini, semut-semut itu telah berhasil menggelindingkan mereka dari singgasana tahta menuju peradilan KPK. Kini mereka kehilangan kebebasan berselimut hina dina, moral hancur wibawa lenyap. ****** Di pinggiran kota sana relatif dekat rumah gubernur, di Sumur Putat, Kecamatan Cipocok, Kota Serang, seorang bocah berusia 2 tahun bernama
Ibnu Ahmad harus hidup tergolek menderita tumor tak memiliki biaya untk berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dilansir
merdekadotcom (8/3/2014). Ibnu kini hanya bisa tergolek lemas di rumahnya bersama kedua orang tuanya Apendi dan Sulkiah, pasrah menunggu keajaiban Tuhan. Sebagai seorang ayah bagi anaknya tersayang, Apendi tak mampu berbuat apa-apa demi buah hatinya yg dikasihinya karena ia hanya seorang tukang ojek Pasar Rau. Sebagaimana Atut dan Wawan, Ibnu jg kehilangan waktunya untk bermain layaknya anak-anak. Sementara Apendi, ia terpaksa menjadi buruh ojek demi menghidupi anak istrinya tak bisa selalu berada di samping Ibnu buah hatinya. Seandainya besok / lusa Ibnu meninggal dunia, kemiskinanlah bencana yg memisahkan anak itu dgn ayah dan ibunya. Apendi menolak untk menyerah. Ia berkeras untk menyembuhkan anaknya dgn ramuan-ramuan seadanya mengikuti petunjuk orang yg simpatik. Tidak mungkin ia membawanya ke RSCM. Bekerja sebagai tukang ojek, yg hasilnya ibarat setitik nila pd jumlah uang yg dihabiskan Atut dan Wawan untk gaya hidup ke salon mancanegara dan party di Flame Boutique.
 |
IBNU dan Bapaknya Apendi (merdeka.com) |
Saya tak henti-hentinya mencucurkan air mata saat menulis ini. Tak kuat saya membayangkan seandainya itu dialami oleh saya sendiri. Apa yg saya rasakan ketika menyaksikan anak kandungku tergolek lemas menjadi korban kemiskinan diriku. Di usia sekecil itu, ia sudah menjadi seorang penanggung nasib dan tumbal ujian kedua orang tuanya yg sulit menolak untk dikalahkan nasib. Saya sedang memikirkan betapa kontrasnya dunia. Ada yg bermandikan fasilitas, ada pula yg tak berfasilitas. Namun, jika kehidupan adlh proses melalui terjalnya beragam tantangan serta karang-karang persoalan, maka ayah bocah Ibnu itu telah menunjukkan watak seorang petarung yg tak pernah mau kalah tanpa uluran tangan pemerintah. Baginya, obat apa pun hanya milik Allah dan Allah jua yg menyembuhkan. Ia seorang ayah yg bertarung di medan kehidupan demi sesuatu yg luhur, demi mempertahankan hidup orang lain. Nampaknya ia melakukan sesuatu yg besar demi menyelamatkan sesuatu yg kecil. Namun, apakah kita punya tafsiran benar tentang perkara besar dan kecil dlm kehidupan kita? Saya jg memikirkan hal yg lain. Bagi saya, potret Wawan-Atut dan Apendi-Sulkiah adlh potret dari dua warga Banten. Wawan-Atut adlh potret kemajuan secara ekonomi, tapi miskin secara spiritual. Sementara Apendi-Sulkiah adlh potret matangnya sebuah pribadi, tapi terpuruk secara material. Potret Ibnu adlh potret buram dari ribuan anak Banten yg masih harus berkelahi dgn nasib karena menjadi tumbal Gubernur Jenderal Banten. Inilah Banten yg membiarkan warganya hidup dgn duit tak sampai sepuluh ribu dlm sehari. Ketika Apendi hidup membanting tulang demi sesuap nasi, banyak pembesar negeri hidup bergelimang kekayaan dan memperbesar kantung pribadi. Ketika anak kecil 2 tahun itu antara hidup dan mati, banyak pejabat yg bekerja untk membangun kemegahan pribadi, dan memakan uang yg sejatinya diperuntukkan bagi bocah kecil Ibnu Ahmad. Maka menjadi amat lucu ketika dulu Gubernur Banten melalui dana Bansos hanya mau membantu lembaga yg dipimpin sanak saudaranya, yg pd sejatinya adlh menilep uang rakyat kecil yg dulu menjadikannya pemimpin Banten. Bagaimanakah dgn kekayaan Atut dan Wawan kini? Mungkin kita perlu menunggu beberapa waktu untk melihat ending kisah ini. Yang pasti, waktu tak sedang diam. Waktu sedang mencatat. Semoga…. Banten, 8 Maret 2014
0 Response to "[Islami] Kisah Ironi Ibnu Ahmad dan Pemimpin Banten"
Post a Comment