SUDAH 10 menit aku berdiri sendirian di depan loket halte Transjakarta Tegal Perang. Memandang dgn perasaan kecut kepada bus yg seharusnya yg membawaku ke halte Slipi Pertamburan, menatap dgn pandangan muram pd kemacetan pd jam pulang kantor di Jalan Gatot Subroto Jakarta sambil membandingkan kemacetan di Jalan Ahmad Yani Surabaya dan mendongakkan kepalaku ke deretan anak tangga demi menunggu seseorang yg tepat datang. Dalam posisi seperti itu, aku jg memikirkan banyak hal terkait dampak dicabutnya subsidi BBM, operasi tangkap tangan KPK kepada mantan bupati sekaligus Kyai Fuad Amin di Bangkalan yg sempat akan wawancarai terkait persoalan keberagamaan dan demokrasi di Bangkalan yg kondisinya lebih toleran dari Sampang Madura, dan tentu saja terlintas pikiran soal Mas Mas bertemperamen dingin yg entah sedang apa di sana, sambil sebisa mungkin menekan rasa penasaran yg meluap-luap tentang : bagaimana dia menghadapi hidupnya tanpa berkirim pesan denganku selama beberapa waktu belakangan.
Transjakarta kedua datang 15 menit kemudian. Dengan pasrah aku hanya bisa memandangi bus yg seharusnya bisa membawaku ke halte tujuan, tak bisa begitu saja melompat ke dalamnya. Ada banyak orang tampak berhimpitan di dalamnya, nantinya, kotak berjalan itu akan lebih sesak lagi saat bus itu berhenti di Kuningan Barat yg merupakan halte transit.
Kenapa aku tak segera naik bus itu padahal aku bukan orang yg enggan berdesakan di kendaraan umum?
Oke, jangan salah sangka dulu. Aku begini jg tak sedang mempraktekkan sebuah analogi drama percintaan yg berbunyi, “Cinta itu seperti menunggu bus.” Bukan, demi Tuhan yg disebut dgn banyak nama, bukan kondisi seperti itu yg sedang terjadi.
Sebenarnya, yg membuatku terhalang untk menaiki Transjakarta itu hanya karena aku tak punya kartu e-tiket! Sesederhana itu.
Setelah meninggalkan Jakarta selama hampir satu bulan untk sebuah penelitian di daerah Jawa Timur, aku tak tahu bahwa kini hampir di semua koridor bus way diberlakukan penggunaan e-tiket untk mengganti karcis konvensional berupa sesobek kertas kecil yg begitu diberikan penjaga loket langsung kita buang ke tempat sampah begitu masuk ke dlm haltenya. Sahabatku, si Nila, sudah lama memiliki kartu BNI untk naik Transjakarta dari halte PGC. Karena sudah lama halte di PGC hanya menerima e-tiket untk pembayaran karcis. Jadi sangat wajar jika dia yg rutin jadi pengguna layanan Transjakarta itu memilikinya.
BEBERAPA pengguna ATM BCA memang memiliki kartu BCA Flazz. BCA ni bisa digunakan untk berbelanja seperti kartu debet tapi dgn penggunaan yg lebih luas tanpa -kalau tak salah- minimum pembelian. Saat masih kuliah semester tiga, setelah mata kuliah Anti Korupsi di gedung S2 Paramadina, aku sempat menemani kakak kelas di kampus mengisi ulang kartu Flazz BCA di ATM center The Energy Building SCBD. Saat aku tanya kenapa dia merasa perlu menggunakan kartu Flazz, dia bilang, “Kakak harus nabung dek, mumpung masih awal bulan.”
Aku tak tahu korelasinya mengisi kartu Flazz dan menabung itu apa. Karena kartu Flazz itu untk berbelanja. Sedang definisi menabung di kepalaku adlh menyimpan uang selama mungkin agar tak dibelanjakan. Lagipula, sebagai anak kost, aku lebih senang makan di warung betawi dekat pasar Tegal Parang yg masih menggunakan alat pembayaran konvensional daripada makan di restoran yg menerima pembayaran dgn Flazz.
Menurutku, penggunaan kartu Flazz untk segala macam transaksi itu membuat kita tak memberi kesempatan berputarnya uang di kalangan pedagang bermodal cekak di kelas bawah. Kalaupun uang bisa berputar di kalangan bawah, siklus yg dilalui akan lebih panjang. Tidak mungkin kan beli cimol keliling pakai kartu Flazz? Jika kartu Flazz dijadikan sebuah tabungan “mumpung awal bulan” dgn saldo, katakanlah 500.000, maka saat kepepet tak punya uang cash pun, uang kita yg tersimpan di Flazz itu larinya akan ke pengusaha yg punya banyak modal. Bukan pedagang kecil. Aku lebih senang mendukung pedagang bermodal kecil yg berjualan dgn cara konvensional daripada pemodal yg memiliki minimarket dan supermarket. Jika barang yg aku butuhkan jg dijual di toko kelontong -sekalipun harganya akan sedikit berbeda dgn yg dijual di minimarket / supermarket- aku akan lebih memilih berbelanja di toko kelontong. Bukan di supermarket. Tak bisa seperti itu kan kalau kita hanya punya simpanan uang akhir bulan di Flazz?
Belum lagi risiko yg kita tanggung jika kartu Flazz itu hilang.
Di dlm brosur kecil Syarat dan Ketentuan Penggunaan Kartu Flazz disebutkan bahwa kartu tersebut bisa dipindah tangankan ke siapa saja. Penggunaan kartu tak memerlukan PIN / tandatangan sehingga penggunaannya tak perlu dibuktikan kewenangannya oleh BCA.
Artinya, jika kita menggunakan Flazz untk menabung tadi, misal dgn saldo RP 500.000 dan kartu tersebut hilang, kartu itu bisa dipakai sampai habis oleh orang yg menemukan kartu kita tanpa kita bisa mencegahnya lewat pemblokiran kartu seperti halnya kartu debit maupun kartu kredit. Tidak ada identitas kita yg tercantum di sana sehingga kalaupun kartu tersebut ditemukan oleh orang baik, tak ada cara jg untk mengembalikannya pd kita. Hilang ya hilang saja.
Seandainya saja kenangan tentang mantan dan cemceman kita itu bisa diconvert dlm bentuk Flazz. Dunia akan lebih tenang, kegalauan jg akan musnah.
Oke, kembali ke soal e-tiket.
Sebagai orang yg masih jarang berpergian dgn Transjakarta, aku kurang tertarik jg memiliki kartu macam itu, dan toh di halte kecil seperti Tegal Parang, kita masih bisa membeli tiket secara manual.
Ternyata aku salah! Karena, sejak 1 November di seluruh koridor Transjakarta kecuali Halte Dukuh Atas dan Ragunan, sudah menggunakan sistem e-tiketing untk pembelian tiket Transjakarta.
Pasti hal seperti ni sudah diberitakan di media online. Kurang informasi seperti ni memang merugikan. Ini gara-gara bulan November ku disibukan dgn membaca beragam artikel soal kebebasan beragama, pencabutan subsidi BBM, peristiwa Ferguson #BlackLivesMatter, kontroversi pamer bokongnya Kim Kadarshian dan segala macam soal Taylor Swift yg baru saja meluncurkan video klip Blank Space. Sehingga, berita soal pemberlakuan e-tiketing untk Transjakarta ni terlewat! Sama sekali tak aku baca.
Jadi, setelah menuruni tangga pd jembatan busway menuju loket tiket dan menyodorkan uang Rp 5000 ke petugas loket, dia bilang, “Maaf, sekarang hanya bisa menggunakan e-tiket.”
Baru saja aku ditolak.
Huft, hidup memang berat dan penuh perjuangan, tapi aku harus selalu tampak tegar dan lapang dada. Aku harus menenangkan hati bahwa semua akan baik-baik saja sekalipun banyak luka di dlm dada. ~~Owoooowooo…
Aku kembali menegakkan badan sambil membaca poster promosi yg digantung di canopy jembatan Transjakarta. Bahwa dgn harga Rp 40.000 kita akan mendapatkan kartu perdana e-tiket berisi nominal Rp 20.000.
Aku mengingat-ingat, berapa uang cash yg aku bawa. Rp 50.000 kurang dikit. Untuk beli e-tiket cukup, tapi tak cukup karena setelah di halte Slipi nanti aku masih harus naik angkot. Belum tentu jg di Slipi ada ATM BCA sehingga aku bisa menarik tunai di sana.
Aku menunduk ke kaca loket lagi, “Bisa beli kartu perdana pakai debit nggak mbak?”
“Tidak mbak, kalau isi ulang kartu bisa pakai debit. Tapi kalau beli kartu perdana tak bisa.”
“Kenapa gitu?”
“Sudah aturannya gitu mbak.”
Jawaban default khas costumer service di Indonesia.
Baiklah. Dia bilang sudah aturannya begitu. Sekalipun aku belum bisa menerimanya secara logis, mau nggak mau aku harus patuh kan? Memangnya aku punya pilihan? Masak mau pindah naik taxi di tengah kemacetan seperti ni / naik ojek yg mahalnya minta ampun.
Aku mencoba mengkalkulasi segala kemungkinan. Jika aku harus naik turun anak tangga Transjakarta lagi untk ke ATM BCA yg lokasinya di Starmart samping gedung Trans TV, aku akan memboroskan energi dan waktu.
Kegiatan yg akan aku hadiri adlh acara makan-makan ulang tahun anak seorang kawan. Jadi sedari awal aku sudah mengosongkan perut supaya tuan rumah senang aku makan banyak. Nggak gitu jg sih, Cuma demi penghematan pengeluaran anak kostan aja. Masak iya sebelum berangkat acara makan-makan mau makan dulu.
Hal yg mungkin dilakukan saat itu hanyalah menunggu di depan loket Busway. Menunggu seseorang yg tak aku kenali datang, mau menerima aku apa adanya serta bersedia membantu tanpa perlu mempertanyakan latar belakang kehidupanku seperti apa. Loh, loh, loh, tadi kan niatnya di sini bukan mau menemukan pasangan hidup. Cuma mau nunggu orang yg punya kartu e-tiket dan mau membantuku untk ikut masuk ke dlm halte berpintu elektronik.
Dilihat sekilas dari penampilannya, kebanyakan pengguna Transjakarta sore itu adlh para karyawan yg kemungkinan berkantor di sekitar Jalan Gatot Subroto dan Jalan Tendean. Sebagai pengguna tetap Transjakarta, mereka pasti memiliki kartu e-tiket itu. Ada banyak orang yg lewat. Tapi aku tak kunjung mendapatkan seseorang yg aku pikir bisa membantuku.
Kenapa?
Kebanyakan dari orang yg lewat itu berjalan sambil menunduk ke gadgetnya. Sebagian lagi memakai masker anti polusi dan yg lainnya terdiri dari orang-orang yg terlihat menyumpal telinganya dgn headset sehingga akan sulit jika diajak komunikasi.
Aku mencari seseorang tanpa masker, tanpa menunduk di gadget dan tanpa headset. Kriteria sederhana yg baru aku sadari begitu langka saat itu. Belakangan aku menambahi kriteria lain : seseorang yg jalannya tak tergesa-gesa.
AKHIRNYA datanglah seorang ibu paruh baya berwajah Tionghoa berkaus merah dgn kriteria yg aku idamkan. Aku tersenyum padanya, dia berhenti dan membalas senyumku.
“Bu, maaf, bisa minta waktunya sebentar?” Sapaku untk menghentikan langkahnya.
“Ya?”
Aku tak tahu apa yg ada dipikirannya saat itu. Tiba-tiba saja aku langsung teringat volunteer Green Peace / WWF yg suka minta sumbangan dana kepada orang yg lewat dan para missionaris penyebar buletin Saksi Jehovah.
“Bisakah saya minta tolong sama ibu? Saya belum punya kartu karena saya tak biasa naik Transjakarta. Sedangkan saya tak bawa uang cash, masih di ATM. Bisa saya ikut masuk ke dlm bersama ibu? Nanti saya bayar tiketnya ke Ibu.”
Tanpa pikir panjang, ibu itu mengiyakan dan mempersilakan aku masuk lebih dulu melewati pintu elektronik halte.
Setelah kami berdua masuk ke dlm halte, aku segera mengangsurkan selembar uang 5000an. “Tidak usah kembali bu.”
“Nggak bisa begitu. Biasanya tarifnya berapa?”
“3500 bu…”
“Ini, saya ada kembalian.”
“Loh, nggak perlu bu.”
Ibu itu membuka dompetnya mencari-cari recehan yg tampaknya bersembunyi di dasar dompet yg cukup besar. Karena sulit, ia menjungkirbalikkan isi dompet dan menadahinya dgn telapak tangan. Mengangsurkan recehan berupa 5 logam uang receh Rp 100 dan 2 keping Rp 500.
Aku menerimanya dgn kikuk sambil mengucapkan terimakasih berkali-kali.
Tak lama, Transjakarta ketiga datang. Lebih penuh daripada dua armada sebelumnya. Aku tak punya alasan lagi untk tak melompat ke dalamnya. Lagipula sudah terlalu sore, acara pasti akan segera dimulai saat aku sampai di sana nantinya.
Aku meraih gantungan tangan di dlm kotak ber AC itu agar tak oleng saat bus berjalan. Tersenyum kecut teringat iklan hand sanitizer di televisi yg menggambarkan perpindahan kuman lewat telapa tangan. Berbaur dgn orang-orang yg sebagian besar laki-laki karena aku memang memilih naik di bagian belakang bus gandeng yg pemberhentian terakhirnya di Grogol ini.
Aku sudah bertekad akan membeli kartu Flazz Transjakarta saat pulang nanti di halte Slipi Pertamburan. Agar tak perlu menunggu lama di depan loket dan tak perlu merepotkan orang lagi.
Setelah menghembuskan nafas lega, tiba-tiba saja dialog awal film komedi romantis berjudul First Kiss yg jadi salah satu film Thailand kesukaanku terngiang-ngiang di kepala.
“…cinta itu seperti menunggu bus, kadang bus yg datang bukanlah bus yg kau harapkan. Dan saat bus yg kau harapkan datang, akan ada hambatan yg menghalangimu menaikinya…"
0 Response to "[Cerita] Pada Transjakarta Ketiga Tanganku Bergantung"
Post a Comment